Jarum Waktu
Jarum yang terus berputar setiap detik-detik berdetik. Ia pedangku. Aku latih selalu diri untuk mengendalikannya. Aku pakai ia untuk menaklukan segala pekerjaanku. Ketika satu detik alpa, ia mulai menciumku dengan bibirnya yang tajam. Sungguh tajam, ciuman mematikan itu. Kadang terasa tumpul kala aku terlena bisikan peri. Meremehkan si kecil jarum. Aku hampir terbunuh. Aku benar-benar kalah. Darahku bercucuran menjejaki langkah-langkah aku tertatih. O bak mawar merah merona, kau harum dengan merahmu. Sungguh sia-sia, kau tak ku jaga. Mau sampai kapan luka ini mengalir. Aku butuh, kau si penggerak raga. Si pedang berseru, “Jangan lupakan aku! Kejar aku! Sekarang juga!” Aku mencoba berlari mengejarmu yang kian berlari. Sudah, jangan menari-nari di atas darahku. Aku mendapatimu, aku menggapaimu. Tapi tidak. Kau menari lagi di tetesan darahku. O tubuh bisu mengapa kau diam berlumpur darah. Tidak, tidak aku. Aku terbunuh. Bantaian leherku tak kunjung reda. Pedan